HAM
BAB
I
PENDAHULUAN
Masalah
HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan abad
kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa
sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional. Kaum
muslim di seluruh dunia, sebagai bagian integral dari masyarakat internasional,
mempunyai perhatian sungguh-sungguh terhadap isu global ini. Sebagai kelompok
masyarakat yang memiliki warisan tradisi peradaban yang sangat kaya, kaum
muslim tidak pernah diam memberikan respon terhadap setiap isu penting yang
berkembang dalam setiap zaman. Islam, seperti kita ketahui bersama, adalah ajaran
yang dinamis. Ia selalu mendorong umatnya menemukan hal-hal baru demi kemajuan
umat manusia. Sepanjang keberadaannya, Islam telah membangun peradaban besar
yang sudah memberikan sumbangan yang sangat mementukan dalam sejarah peradaban
umat manusia hingga ke zaman kita sekarang ini. Demikian pula sumbangannya
dalam rangka mengakui dan menghormati harkat dan martabat manusia. Tidak
berlebihan kiranya, jika kita mengatakan Islam adalah agama kemanusiaan (religion
of humanity).
Ketika
kita melangkah untuk memahami Islam dalam perspektif HAM, kita selalu akan
dihadapkan pada pertanyaan akademis: apakah Islam memang memberikan pengajaran di bidang ini? Secara
umum, kita tentu dapat menjawab bahwa Islam adalah agama komprehensif, karena
al-Qur'an yang merupakan himpunan wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw adalah kitab yang berfungsi "memberikan petujuk dan penjelas
atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda" antara kebenaran dengan
kesalahan (al-furqan).
Ajaran-ajaran
Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW mencakup keseluruhan aspek
kehidupan manusiawi, walaupun untuk bidang-bidang tertentu ia hanya memberikan
rumusan-rumusan umum yang senantiasa dapat dipikirkan, direnungkan dan
diformulasikan untuk menghadapi tantangan perubahan zaman. Selain itu, corak
rasionalitas ajaran Islam yang senantiasa mendorong umatnya untuk berpikir
kreatif dengan berlandaskan kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur'an dan
al-Hadits, akan senantiasa mendorong umatnya menemukan gagasan-gagasan dan
konsepsi baru untuk menjawab tantangan zaman. Al-Qur'an sendiri mengatakan
"siapa berusaha dengan sungguh-sungguh di jalan Kami, maka Kami akan
menunjukinya jalan-jalan Kami".
Persoalan HAM berkait erat dengan konsepsi filosofis
dengan suatu aliran pemikiran tentang manusia. Perbedaan pandangan metafisik
terhadap manusia inilah yang melahirkan perbedaan konsepsi manusia tentang
kehidupan pribadi dan sosial manusia. Meskipun perbedaan
metafisik ini telah dimulai sejak ribuan tahun lalu, namun masalah itu belum
sepenuhnya dapat terjawab dengan memuaskan. Manusia tetap saja menjadi misteri
besar dari semua eksistensi. Hingga sekarang ironisnya, manusia sebenarnya
belum mempunyai pemahaman utuh dan konfrehensif tentang dirinya. Ajaran-ajaran
Islam juga memberikan dasar-dasar pemahaman tentang manusia dan hak-hak
asasinya, yang sampai sekarang menjadi sumber yang tidak pernah kering dalam membahas hak-hak
manusia baik dari sudut pandang filsafat ataupun ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah kajian empirik untuk tujuan deskriptif
atau evaluatif sekalipun, diskursus tentang Islam
dan Hak Asasi Manusia menemukan relevansinya. Walau demikian keterbatasan
akses terhadap realitas empirik, makalah ini membatasi diri pada diskursus Islam dan Hak Asasi Manusia di mana
Islam dimaknai sebagai ajaran. Dengan demikian, analisis dalam diskursus ini
lebih bersifat filosofik, deduktif, dan komparatif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Asasi
Di
dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang
benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (krn telah
ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yg benar atas sesuatu
atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkam kewajiban adalah
sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus
dilaksanakan). Di dalam perjalanan sejarah, tema hak relatif lebih muda usianya
dibandingkan dengan tema kewajiban, walaupun sebelumnya telah lahir . Tema hak
baru “lahir” secara formal pada tahun 1948 melalui Deklarasi HAM PBB, sedangkan
tema kewajiban (bersifat umum) telah lebih dahulu lahir melalui ajaran agama di
mana manusia berkewajiban menyembah Tuhan, dan berbuat baik terhadap sesama.
2.2 Hak Asasi Menurut Konsep Islam
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut
pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara
maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya
darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan
Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini,
melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
2.3 Hak Asasi wanita pada masa
kanak-kanak
Di masa jahiliah tersebar
di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan anak perempuan
hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah
Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik
kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun
dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya.
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia
biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang-orang
jahiliah:
“Apabila salah seorang dari
mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah
padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia
berpikir) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
anjuran dalam sabda-Nya:
“Siapa yang memelihara dua
anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan
datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti dua jari ini.”
Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638
dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya.
Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali
hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibaginya
untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita
itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar
penuturanku beliau bersabda:
“Siapa yang diuji dengan
sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka
mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR.
ِAl-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)
#sÎ)ur tÏe±ç0 Nèdßymr& 4Ós\RW{$$Î/ ¨@sß ¼çmßgô_ur #tuqó¡ãB uqèdur ×LìÏàx. ÇÎÑÈ 3uºuqtGt z`ÏB ÏQöqs)ø9$# `ÏB Ïäþqß $tB uÅe³ç0 ÿ¾ÏmÎ/ 4 ¼çmä3Å¡ôJãr& 4n?tã Acqèd ôQr& ¼çmßt Îû É>#uI9$# 3 wr& uä!$y $tB tbqßJä3øts ÇÎÒÈ
Artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
“Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya
berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?.
Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
(QS. An-Nahl:
58-59)
Hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan,
memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 16/395)
Islam mewajibkan kepada seorang
ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah kepadanya sampai ia
menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.
2.4 Hak Asasi wanita dalam masa pernikahan
Wanita
diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon
suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa
hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh seorang janda
dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh
seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab
Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim
no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata:
“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam
masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk
dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137)
Khansa` bintu
Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, ayahnya
menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak
pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR.
Al-Bukhari no. 5138)
Hadits di atas diberi judul oleh
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya:
Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka
maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far2
merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang
untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar,
‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya
berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam
dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no.
6969)
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu
‘anhu mengabarkan:
“Pernah datang seorang
wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka
mengadu, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan
kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’, ujarnya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan
pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku membolehkan
ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah
mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.”
(HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu
dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64), “Hadits ini shahih menurut
syarat Al-Imam Muslim.”)
Islam
memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa
rahmah. Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang
gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka?
Lalu bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan
tenang dan tenteram?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih
dahulu meminta izinnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tidak suka, maka ia tidak boleh
dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini, bila si wanita masih kecil,
karena boleh bagi ayahnya menikahkan gadis kecilnya tanpa meminta izinnya.
Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tidak boleh
menikahkannya tanpa izinnya, sama saja baik yang menikahkannya itu ayahnya atau
yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan,
apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal
ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang akan ia
nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si
wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si
wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.” (Majmu’ Fatawa,
32/39-40)
Islam menetapkan
kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar
pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak
boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa`:
4)
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata, “Ayat
ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama
menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat sebagian
ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan
budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib adanya mahar. Namun
pendapat ini tidak dianggap.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an,
5/17)
2.5 Hak Asasi wanita Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika
remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dalam Tanzil-Nya setelah
mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
Artinya: “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil.”
(QS. Al-Isra`: 23-24)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga berfirman:
“Dan Kami telah mewasiatkan
manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya
dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai
menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)
Ketika shahabat yang mulia,
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Amal apakah yang paling
dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya ‘Abdullah lagi. Kata
beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)….”
(HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)
Kata Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-, “Ada
seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, siapakah
di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab
beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian
siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR.
Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Hadits di atas
menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam
menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang
merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang
bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti
dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian
dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh
Al-Hafidz rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493)
Islam mengharamkan seorang anak
berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya Allah
mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR.
Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Al-Hafizh rahimahullahu
menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan
durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada
ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan
peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan,
kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.” (Fathul
Bari, 5/86)
Sampai pun
seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak
berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu
‘anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku
bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk
berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau
menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari
no. 5979)
2.6 Hak Asasi wanita Sebagai istri
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
seorang suami agar bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.”
(QS. An-Nissa`: 19)
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata, “Ayat Allah Subhanahu
wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya seorang suami mempergauli
istrinya dengan cara yang ma’ruf, menemani, dan menyertai (hari-hari
bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya),
mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini
pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir
Rahman, hal. 172)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:
“Janganlah kalian memukul
hamba-hamba perempuan Allah.”
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu datang mengadu, “Wahai Rasulullah, para istri berbuat durhaka kepada
suami-suami mereka.” Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang
beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui
istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan
perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mereka itu bukanlah orang
yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Abi Dawud)
Beliau juga pernah bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR.
Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad,
2/336-337)
2.7 Hak Asasi wanita dalam memilih pekerjaan
Kalau kita
kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam,
maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif
dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di
dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain,
dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya
dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya,
serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat,
dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa
"perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan
aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam,
sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan,
bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi),
Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain,
tercatat sebagai tokoh- tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam
Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan
kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad,
Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban,
dan lain-lain.
Di samping itu,
para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan.
Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang
merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay --istri Nabi Muhammad
saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang
perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat
sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad,
kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada
perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila
Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda
inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak.
(Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi
saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi
Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.197
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau
menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw.
banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu
sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam
hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik
"permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi'
Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah
berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di
tangan lelaki."
Tentu saja
tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada
pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada
akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama
ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma
agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum
wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan
tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat
diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma)
dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam beberapa
kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap orang yang
memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya
kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar
kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab
fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam
berbagai bidang.
2.8 Hak Asasi wanita Hak dan
Kewajiban Belajar
Terlalu banyak
ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar,
baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama
dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah
demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan
para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki
pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki
maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka
semua dituntut untuk belajar:
Menuntut ilmu adalah kewajiban
setiap Muslim (dan Muslimah).
Para perempuan
di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon
kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk
mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja
dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal
tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak
terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti
dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah
Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
z>$yftFó$$sù öNßgs9 öNßg/u ÎoTr& Iw ßìÅÊé& @uHxå 9@ÏJ»tã Nä3YÏiB `ÏiB @x.s ÷rr& 4Ós\Ré& ( Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ ( tûïÏ%©!$$sù (#rãy_$yd (#qã_Ì÷zé&ur `ÏB öNÏdÌ»tÏ (#rèré&ur Îû Í?Î6y (#qè=tG»s%ur (#qè=ÏFè%ur ¨btÏeÿx._{ öNåk÷]tã öNÍkÌE$t«Íhy öNßg¨Yn=Ï{÷_{ur ;M»¨Zy_ ÌøgrB `ÏB $pkÉJøtrB ã»yg÷RF{$# $\/#uqrO ô`ÏiB ÏYÏã «!$# 3 ª!$#ur ¼çnyYÏã ß`ó¡ãm É>#uq¨W9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir
dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang
dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku
masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai
pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
(QS. Ali Imran: 195)
Ini berarti
bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa
yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari
alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka
masing-masing.
Banyak wanita
yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan
yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a.,
adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai
kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan
oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian juga
Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah
Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah
seorang guru Imam Syafi'i200
(tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di
seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan
mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut,
yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin
Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif
Al-Baghdadi.201
Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi
anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang
memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka
yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak
perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat
tinggi.
Al-Muqarri,
dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi,
memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada
akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya
dalam bidang ini.202
Harus diakui
bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa
kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas
hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini,
Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari
hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban
mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan
anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang
berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal keagamaan."203
Demikian sekilas menyangkut hak
dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih
banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam
berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa
mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara
sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi
dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin
itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain:
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
(QS. An Nissa’: 32)
Kesimpulan
Hak
dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi
dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan
kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia sedemikian penting,
mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
Setelah
melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal sejak
10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi
Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang
untuk melindungi kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau
negara yang cenderung dominan dan terdesentralisasi. Karena itu,
deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene anak peradaban Barat, melihat
hak-hak asasi manusia dalam perspektif anthroposentris.
Hak-hak
asasi manusia memperoleh landasan dalam Islam melalui ajarannya yang paling
utama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam
Islam lebih dipandang dalam perspektif theosentris. Walau demikian, ajaran
tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan dan
keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kebebasan manusia. Prinsip tersebut
telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat Muslim awal,
sehingga mene
Daftar Pustaka
Al-Bukhari.1978.
Shahih al-Bukhari, Juz 15. Bairut: Dar Fikri
Fatah
Santoso, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika IX ( 03, 1993)
Gauhar, Altafed.
1978. The Challenge of Islam. London : Islamic Council of Europe dalam
Fatah Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika IX ( 03, 1993)
Sumantri, M Sri Refleksi HAM di Indonesia
Mahendra,Yusril
Izza.2003 .“Konsepsi Islam Tentang HAM
dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah Islamiyah, Volume 1 (Nomor 1, 2003)
M.Timur.1987.
Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia.
Hussain, Syekh
Syukat. 1996.
Hak asasi Mausia Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Thoyyar,
Huzni. 1998. "Polemik hak Asasi manusi, Bagaimana Konsepsi
Islam?", Suara Hidayatullah, X, (Februari, 1998)
0 komentar: