PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH




Akhlak Nabi Muhammad SAW
Tanpa berpikir panjang, acara tausyiah saya mulai dengan materi tentang akhlak Nabi Muhammad SAW. Dari sekian nilai-nilai karakter yang berhasil dirumuskan, ada nilai-nilai karakter yang esensial (core essential character values), yang pada diri Nabi sangat dikenal dengan empat akhlaknya, yang sering dibuat akronim sebagai SiFAT, yaitu: (1) Siddiq, (2) Fathonah, (3) Amanah, dan (4) Tabligh. Saya lebih suka menyebut nilai-nilai karakter tersebut sebagai pilar-pilar nilai karakter. Mengapa? Karena, ibarat membangun gedung atau bangunan, maka menanamkan atau membangun pilar-pilar gedung itu adalah kegiatan awal yang harus dilakukan untuk membangun gedung atau bangunan secara keseluruhan.
Sidiq
artinya benar. Lawan kata siddiq adalah kizib (dusta). Nabi Muhammad SAW selalu berkata dan berbuat besar, yang selalu merujuk kepada ajaran Allah SWT. Nilai akhlak mulia ini sangat penting dimiliki oleh masyarakat, karena pada saat itu telah terjadi banyak kebohongan yang dilakukan oleh banyak orang, termasuk para pemimpin yang telah mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ini merupakan kebohongan terbesar yang telah terjadi pada masa itu, di samping juga kebohongan-kebohongan yang lain. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad SAW, pembawa ajaran samawi telah menampakkan diri sebagai pembawa ajaran kebenaran, dengan akhlak yang benar. Sebagai utusan Allah SWT, oleh masyarakat dikenal sebagai ”al amin”, atau orang yang benar. Bahkan Allah SWT sendiri menyatakan salam Surat Maryam (19): 50: ,“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.”
Fathonah 
artinya cerdas. Lebih tepat kalau dikatakan cerdas, bukan hanya sekedar pandai. Kecerdasan beliau melebihi kondisi beliau yang tidak dapat membaca dan menulis (ummi). Beliau dapat memecahkan masalah-masalah yang pelik, seperti hubungan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Solusinya yang telah dilakukan Rasulullah adalah hijrah. Hijrah dapat memecahkan sejumlah masalah kekhalifahan dan keumatan.
Amanah 
artinya dapat dipercaya. Di dalam akhlak amanah ini terdapat unsur nilai dasar kejujuran, karena orang jujur akan melahirkan sifat yang dapat dipercaya dalam kehidupan, di samping juga memiliki unsur kebenaran sebagaimana akhlak siddiq yang telah dijelaskan dalam nilai akhlak mulia sebelumnya. Sebagai rasulullah, semua firman yang telah diperoleh, baik langsung dari Allah SWT ataupun melalui Malaikat-Nya, memerlukan akhlak ini, yakni harus disampaikan secara amanah kepada umat, pengikut Rasulullah. Tanpa akhlak amanah ini, maka sudah barang tentu akan terjadi banyak firman tidak akan sampai kepada umat, atau kalaupun sampai akan banyak terjadi penyimpangan firman yang sampai kepada pengikut setia Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah, Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang amanah., sehingga ajaran Islam yang dibawa beliau dapat sampai kepada kita sebagai umatnya yang setia.
Tabligh 
artinya menyampaikan firman Allah kepada umat. Nabi Muhammad SAW selalu menyampaikan ajaran Islam tanpa henti. Semua ajaran Islam itu telah disampaikan kepada para pengikutnya dalam pelbagai kesempatan. Firman-firman itu semua oleh para pengikutnya kemudian dikumpulkan menjadi kitab suci Agama Islam yang kita kenal sebagai Al-Quran, kitab suci terlengkap dalam sejarah umat manusia. Ajaran Islam yang telah tersimpan dalam Al Quran ini pun sampai saat ini tidak hentinya disampaikan dari umat ke umat, dari generasi ke generasi, sebagai wujud pengamalan akhlak tabligh, salah satu akhlak Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah Nabi, dalam kesempatan beliau menyampaikan tabligh kepada umat, beliau tidak segan-segan untuk mengingatkan kepada umatnya agar tidak segan-segan untuk saling ingat-mengingatkan kepada hadirin, dengan pesannya sebagai berikut: "Hendaklah siapa yang hadir menyampaikan kepada siapa yang tidak hadir”.

Pendidikan Karakter di Indonesia
Pendidikan karakter di Indonesia sebenarnya bukan satu hal yang baru. Sejak zaman Sukarno, beliau telah menyampaikan kepada bangsa dan negaranya tentang pentingnya perjuangan untuk mewujudkan ”nation and character building”. Hal ini memang menjadi program yang maha besar, karena bangsa dan negara ini telah dijajah dalam beberapa abad. Untuk membangkitkan kesadaran sebagai bangsa dan negara yang telah merdeka, maka perjuangan untuk mewujudkan ”nation and character building” harus menjadi program dan kegiatan utama pada saat itu. Sayang, program dan kebijakan besar ini belum sepenuhnya dapat dijabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan operasional yang dapat dilaksanakan oleh seluruh rakyat, khususnya oleh para pelaksana pemerintahan di negeri ini.
Pada era selanjutnya, perjuangan untuk mewujudkan nation and character building itu dinilai harus dilaksanakan melalui pengalaman sila-sila Pancasila, sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Oleh karena itu lahirlah konsep yang disebut sebagai program P4 (Penataran, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) dengan 45 butir nilai-nilai Pancasila yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, bangsa, dan negara. Pelaksanaan program ini lama kelamaan mengalami surut karena sekali lagi penerapannya tidak dapat dilaksanakan secara konsisten.
Pada era 2010-an, Mendiknas telah mencanangkan Pendidikan Karakter, pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional. Mudah-mudahan Pendidikan Karakter ini tidak bak ibarat ”pecut”, yang mengecil di ujungnya, artinya tidak lama-lama hilang entah kemana. Oleh karena itu, konsep Pendidikan Karakter harus dapat dijabarkan secara utuh, bukan hanya sampai perumusan nilai-nilai karakter esensialnya, tetapi juga sampai dengan proses perumusan perilaku (behaviors) operasionalnya, yang harus dijabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan operasional di rumah, sekolah, dan masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan, dan bahkan beberapa keluhan dan saran tentang kebijakan pendidikan selama ini. Ada tiga masalah yang diajukan oleh para hadirin.
Pertama, jam pelajaran Pendidikan Agama
Mata pelajaran Pendidikan Agama setidaknya merupakan kelompok mata pelajaran yang menjadi benteng dalam pelaksanaan pendidikan karakter, karena nilai-nilai moral dan agama yang menjadi ajaran agama itu merupakan bagian utama yang tidak dapat dipisahkan  dengan pilar-pilar nilai karakter yang harus ditanamkan kepada peserta didik. Jumlah jam pelajaran yang hanya 2 (dua) jam pelajaran ini merupakan jumlah terkecil yang telah diberikan kepada mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang dan jenis pendidikan formal. Hadirin penanya dalam acara tausiah ini dengan kesal mengusulkan agar jumlah jam pelajaran Pendidikan Agama ini dapat ditambah, minimal 4 (empat) jam pelajaran. Lebih dari itu, pelaksanaan mata Pelajaran Pendidikan Agama itu juga harus disempurnakan tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, tetapi justru harus menekankan aspek afektif dan perilakunya.
Kedua, masalah ganti-ganti buku pelajaran
Masalah ini sebenarnya lebih kepada masalah ekonomi ketimbang masalah substansi. Dahulu, demikian hadirin itu memulai dengan memberikan contoh, buku pelajaran di sekolah dapat dipakai oleh adik-adiknya sampai beberapa kali. Sekarang, buku pelajaran itu berganti setiap tahun ajaran, sehingga adiknya yang kemudian naik kelas tidak akan dapat menggunakan buku yang pada tahun pelajaran yang lalu dipakai di kelas itu. Ini menjadi satu pemborosan keuangan yang kalau dihitung-hitung cukup besar. Ada latar belakang dari sudut tertentu yang menyebabkan kepala sekolah atau pihak-pihak pengambil kebijakan tentang perubahan buku pelajaran ini.
Dari aspek substansi, penggantian buku pelajaran ini dapat dimaklumi jika materi buku pelajaran ini memang telah dinilai lebih baik dibandingkan dengan buku pelajaran sebelumnya. Tetapi kenyataannya, materi buku yang baru itu justru lebih rendah. Dalam hal inilah Kementerian Pendidikan hendaknya dapat membuat standar penggunaan buku pelajaran ini.
Kedua, masalah ganti Menteri ganti kebijakan.
Pada akhir pertanyaannya, hadirin juga menyinggung telah masalah ganti Menteri ganti kebijakan. Hal ini dirasakan oleh para orangtua siswa dan masyarakat. Dalam hal ini penanya juga mengkritik terhadap kebjakan BOS, yang dalam praktiknya konon ternyata juga telah terjadi indikasi penyimpangan, tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan awal kelahiran kebijakan BOS ini. Oleh karena itu, maka para pengelola dan penyelenggara pendidikan menjadi kurang dapat menjadi suri tauladan dalam pelaksanaan pendidikan karakter.
Akhir Kata
Tulisan singkat ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang hal-ihwal tentang materi tausyiah tentang akhlak Rasulullah SAW pada khususnya, dan sekitar pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Lebih dari itu, mudah mudahan keluhan dan usulan dari suara akar rumput ini dapat menjadi bahan telaahan untuk kemudian dapat dijadikan bahan untuk pengambilan kebijakan yang lebih memihak kepada kepentingan rakyat. Amin

0 komentar: